Pernah baca quote
berbunyi seperti ini, “Nothing takes the flavor out of peanut butter
quite like unrequited love”?
Saya pernah. Dan waktu itu saya tak bisa menangkap apa maksudnya. Apa hubungan
cinta tak berbalas dengan selai kacang?! I’m
not get the point.
Sampai-sampai pada suatu titik dimana saya mengalaminya.
Sebenarnya itu bukan cinta yang tak berbalas. Berbalas sih iya, tapi ada suatu
realita yang menghantam saya. It won’t
take us anywhere. Pada suatu titik ketika saya tau bahwa semua apa yang dia
katakan adalah palsu. Ketika sikap manisnya hanya sebuah kepura-puraan yang tak
bisa saya deskripsikan apa tujuannya. Dan di titik itulah segalanya terasa
hambar. Bukan hanya lidah tak mau merasa, tapi memang tak terdeteksi indera
lagi. Takes all my flavor out.
Even the sweetest chocolate expires, right? |
Jika kalian bilang saya sakit hati, saya bilang ini bukan sakit hati. Tapi
lebih cenderung ke fase lelah. Lelah untuk merasakan. Lelah juga untuk
mencerna. Lelah untuk bertanya, mana yang benar, mana yang salah.
Dan pada titik itulah saya harus “membenturkan kepala”.
Mengecamkan satu hal penting ke dalam otak saya. Berulang-ulang. Sampai
akhirnya hati saya pun sepaham dengan otak.
“Jangan meyakinkan diri dia menyukaimu hanya karena dia
bersikap manis. Kadang kamu hanya sebuah pilihan ketika dia merasa bosan.”
Dan memang saya hanya sebuah pilihan
ketika-dia-merasa-bosan. Ya, saya tau itu. :(
Tapi kadang, hati saya membangkang. Seperti sekarang ini. Di-waktu-yang-menunjukkan-sudah-lewat-tengah-malam-ini. Lagi-lagi dengan bodohnya, saya merindukan dia. Masih merindukan dia
meskipun dengan sangat jelas saya mengerti bahwa saya hanyalah sekedar obat pengusir kebosanan. Bodoh bukan? (Shit! *toyor kepala sendiri)
No comments:
Post a Comment