Yeah, sudah dua minggu lewat sejak saya menulis blog nyampah yang bahkan tidak jelas apa
topiknya itu, dan sudah sebulan lebih sejak postingan
terakhir tentang “petualangan” pertama saya. Nah, kali ini saya mau mengucapkan
pengakuan dosa karena sebenarnya seminggu lalu saya ber”petualang” ke salah dua
pantai-pantai cantik di Malang Selatan dan sampai detik ini belum melaporkan
apa-apa di blog ini. Hohoho…maafkan
ketidak-eksisan saya ya, guys… :-p
Awal mula rencana perjalanan di bulan November adalah
penanjakan ke gunung Semeru. Preparation yang
dilakukan sudah tidak tanggung-tanggung. Perlengkapan-perlengkapan pun sudah complete, hasil pinjaman (baca: jarahan)
kanan-kiri. Briefing, persiapan surat
keterangan sehat, fotocopy KTP, semua
sudah dilakukan. Bahkan saya sudah memasang telinga lebar-lebar mendengar wejangan-wejangan
dari kakak seperguruan dan tetua pendaki yang kerjaannya naik turun gunung (“Ko
Budz, emang elu udah tua lo yaaa…. :-p “). Tapi lagi-lagi…rencana tinggal
rencana. Ijin keberangkatan saya tidak mendapatkan “stempel” dari Mama
tercinta.
And the reason behind
is…gara-gara diberitakannya dengan santer di salah satu surat kabar lokal
tentang seorang anak muda yang hilang selama dua hari di Semeru. Dan parahnya
lagi, Mama saya adalah pembaca setia surat kabar tersebut. Bikin Mama paranoid?
Jelassss… Sorenya setelah berita dimuat, anak tersebut ditemukan dalam keadaan
sehat. Alhamdulillah buat anak itu, totally craaapppp for me. Bagaimana
tidak lha wong ijin sudah ditolak
mentah-mentah dan sama sekali tidak diperhitungkan untuk pertimbangan ulang. Daaaamnnnnn!!!! Rasanya pada saat itu
saya ingin memutilasi penulis lebay surat kabar lokal tersebut dan memberikan
potongan-potongan dagingnya pada hyena-hyena Taman Safari. (Maafkan jika bahasa
saya mengerikan, mulai kumat psycho-nya,
haha… :-p )
Yeah, kecewa sangat rasanya. Belum lagi merasa bersalah pada
Ko Win dan DK. Sudah berjanji mendaki puncak bersama, tapi janji itu tidak bisa
saya tepati. Seperti menjilat ludah sendiri. Hiks, sedih sekali plus marah pada
diri sendiri rasanya… :’(
Kemudian datanglah penyelamat saya…jeng..jeng…Ko Bon-Bon namanya. Penggemar travelling, doyan photography,
kocak, mirip Ikan Dugong (Ups…), and nice.
He’s single too, so…buat yang mau daftar, bisa langsung ambil formulir
pendaftaran di saya. Yuuukkk, mariiii… (*nyengir gede :D )
Ko Bon-Bon berencana “menculik” saya ikut dalam tripnya bersama beberapa orang teman. Meskipun
dibilang menculik sebenarnya sih jauh dari arti kata sebenarnya, karena ini
yang diculik malah jejingkrakan girang.
Yeyyyy, pantaiiiiiii!!!!
Dan pergilah saya, di
tanggal Satu Suro, mengunjungi pantai-pantai Selatan yang konon merupakan daerah kekuasaan Nyi
Roro Kidul. :-p
Berangkat jam lima
pagi hari dari Surabaya, menempuh lima jam perjalanan dari Surabaya menuju
Malang Selatan. Dan seperti biasa penunjuk jalan adalah GPS. Tanyakan Peta, Katakan
Peta! (Dora the Explorer banget… :-p
)
Setelah melewati jalan makadam1 yang membuat semobil
bergoyang dangdut, sampailah saya di pantai pertama. Gua Cina! Eitsss, bukan
berarti saya mendeklarasikan etnis saya, tapi ini karena memang namanya
demikian. Pantai Gua Cina, namanya…
Nampang di depan papan penunjuk. :-p |
Kenapa disebut Gua Cina? Usut punya usut sih karena dulu ada
seorang biksu yang bertapa di gua yang terletak di pantai ini, tetapi beberapa saat ketika warga datang melihat
keadaan biksu tersebut, warga hanya menemukan tulang belulang saja (Jadi agak horror
nih ceritanya :# ). Di gua tersebut, juga ditemukan huruf Mandarin yang ditulis (atau dipahat, entahlah…) di
langit-langit gua. Saya sendiri entah kenapa sedikit kurang nyaman ketika
berada di dalam gua ini. Bukan karena apa-apa, tetapi karena sirkulasi udara
hanya dari mulut gua saja, sehingga berada sebentar di dalam gua sudah mandi
keringat. Apalagi banyaknya pengunjung yang antre mau masuk ke dalam gua ini.
Fiuhh, jangankan mau mendelik untuk
melihat huruf-huruf Mandarin, bisa keluar tanpa berdesak-desakan saja sudah
syukur sekali rasanya.
Penampakan dalam Gua Cina, banyak torehan yang jelas-jelas bukan huruf Cina. |
Bukan hanya nama saja yang ada embel-embel Cina-nya, di pantai ini saya juga bertemu dengan banyak
rombongan orang Cina, baik yang keturunan etnis Tionghoa, atau memang
benar-benar native. Dan jangan bilang
pantai ini tidak komersil karena pada saat saya datang, pantai ini
ramaiiiiiiiii sekaliiiiiiii (I-nya sengaja saya beri banyak, untuk penegasan.
:-p ). Dan di pantai ini juga, keotentikan saya diragukan. Hahaha… :-p
Ceritanya saat saya sedang makan bakso, datang dua orang Chinese native membeli bakso. Mereka
kesusahan sekali menjelaskan apa maksud mereka ke bapak penjual bakso. Dan
kebetulan saya mendengarkan, mengerti maksud mereka, mengerti juga apa maksud
bapak penjual bakso, dan tidak tega melihat ke-missunderstanding-an yang muncul. Akhirnya saya menjadi translator mendadak di antara kedua
belah pihak. In the end, bule Cina
itu melihat saya, dan ragu-ragu sangat dia menanyakan, “Ni shi Hua ren ma? (Apakah
kamu orang Tionghoa?)”. Saya jawab, “Shi
a… (Benar…)”. Dan mukanya benar-benar tidak yakin mendengar jawaban saya. Dia
berkata lagi, “Xie xie. (Terima
kasih.)”. “Bu yong xie (Tidak
apa-apa.)”, jawab saya. Craaaapppp, mungkin
gara-gara kulit gosong eksotik, saya disangka orang Jawa. Dan baru beberapa
menit kemudian saya tersadar pantas saja bule Cina tersebut tidak yakin, lha wong mata sipit saya (bukti otentik satu-satunya)
tertutup kacamata hitam. Haha… :-p
Pantai Gua Cina dengan ombak khas Selatan |
With Ko Bon-Bon |
Overall, saya suka
sekali dengan pantai ini. Wajahnya bermacam-macam, dan jika diibaratkan dengan
cowok, he’s unpredictable. Ada sisinya yang cadas, berbatu-batu,
khas ombak pantai Selatan yang “meluap-luap”. Sisi yang lain berpasir halus,
lembut, tapi kadang masih menggoda dengan ombak-ombak tak terduganya. And the others, penuh dengan batu
berlumut hingga warnanya hampir hijau menimbulkan gradasi laut yang ih…waow…
banget. :D
Mulai surut, bisa jalan ke pulau kecil di tengah laut. |
Matahari sudah tak lagi berada tepat di atas kami, ketika
kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bajul Mati. Kira-kira 3km jauhnya dari
Pantai Gua Cina. Pantai Bajul Mati sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: Pantai Ungapan Bajul Mati (dekat dengan
Jembatan) dan Pantai Bajul Mati sendiri. Kenapa disebut Pantai Bajul Mati? Simple saja, karena pulau-pulau karang
kecil yang terletak di dekat pantai menyerupai bentuk buaya , yang dalam bahasa
Jawa disebut bajul. Nah jika kalian
bertanya pada saya apakah benar-benar menyerupai buaya, saya hanya bisa
menjawab, “Dilihat dari mananya? :-p “
Kira-kira mirip buaya tidak? |
Pantai ini jauh lebih sepi daripada Pantai Gua Cina, dan
lagi-lagi saya juga suka. Hahaha, saya akui saya memang “murahan” jika
berurusan sama pantai. Mudah jatuh cinta lah intinya (Eits, tapi cuman sama
pantai saja looo…). :-p
Makes me 'in love ' |
Hanya berdiri di pinggir pantai sambil makan ice cream, berteriak keras-keras
(dimanfaatkan karena sepi), berkejar-kejaran
dengan ombak dan menghirup-hembus udara laut saja membuat deadline-deadline kantor lenyap entah kemana. All the stress gone!
Masa kecil bahagia sekali :D |
Dan ketika matahari mengucapkan selamat tinggal dengan
indahnya pada dunia, saat itulah kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Goodbye, Croc, can’t wait to see you in
another times… :D
Special thanks to Ko Bon-Bon, can't wait to go another trip with u! |
Notes:
1 Arti jalan makadam adalah jalan dari batu pecah
yang diatur padat lalu ditimbuni kerikil, hingga permukaannya keras. Jalan ini
terlahir karena didasari keinginan untuk membangun banyak jalan dengan cara
cepat dan biaya yang tidak terlalu tinggi. Makanya di banyak tempat yang
konstruksi jalannya belum terlalu maju, ya seringnya kita menemui kontur jalan
seperti ini. Nama makadam sendiri diambil dari nama penggagas ide munculnya
jalan ini, yaitu John Loudon McAdam
(1756 - 1836). Orang Indonesia banget sih yang simplicity penyebutan dari McAdam (baca: mek-edem) menjadi makadam (baca:
ma-ka-dam). Haha… :D
No comments:
Post a Comment