Sunday, September 29, 2013

Gie

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku…
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku…
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.

Mari sini sayangku,
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku,
Tegaklah ke langit luas, atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita tak akan pernah kehilangan apa-apa.

(Catatan Seorang Demonstran, Selasa 11 November 1969)


Baru sembilan hari lalu saya menonton film Gie. Iya, film Soe Hok Gie yang itu. Iya, yang dibuatnya tahun 2005. Dan iya juga, saya telat sekali karena baru menontonnya sekarang.

Gie, merupakan film biografi singkat yang menceritakan masa remaja hingga Soe (panggilan akrab Soe Hok Gie) menjadi dewasa. Idealisme Soe yang terbentuk sejak kecil, dan keberaniannya menghadapi sang tanda tanya. Bagaimana Soe tak pernah takut berdiri di sisi kebenaran, meskipun itu berarti dia harus berdiri sendiri. Tokoh yang tajam, membuat orang ingin memuja dan tidak menyukainya di saat bersamaan. Hahaha, ambigu sekali kata-kata saya. But actually, that’s exactly what I feel. :p

Satu hal yang saya kurang suka dari Soe di film ini adalah justru sikapnya saat menghadapi cinta (terlepas dari kisah cinta di film ini murni fiksi atau benar-benar terjadi). Hahaha, khas wanita sekali bukan? :p

Ya, kenapa Soe yang benar-benar straight saat berhubungan dengan hal-hal politik, tak bisa melakukan hal yang sama saat berhubungan dengan masalah hati? Kenapa Soe yang tak gentar menuliskan isi pikirannya di harian Kompas, mengambil resiko tidak disukai oleh banyak orang, dan menjadi salah satu incaran penguasa saat itu; malah cemen saat harus memperjuangkan cinta? Arrghhh, saya benci cerita dengan ending seperti ini. Bukan karena terlalu real, tapi saya tak suka saja jika seseorang kehilangan cinta yang sebenarnya bisa ia miliki karena kebodohannya sendiri. Rasanya ingin membentur-benturkan kepala Soe ke dinding (*mulai sadis) saat Soe lebih memilih pacaran dengan Sinta padahal jelas-jelas dia tau dia suka dengan Ira, dan Ira mempunyai perasaan yang sama kepadanya. Ihhh, tak habis pikir sama sekali!

Puisi di awal postingan ini adalah puisi yang menjadi epilog pada film tersebut. Puisi yang disampaikan Soe untuk Ira, melalui seorang teman, yang baru dibaca oleh Ira setelah mendengar berita kematian Soe. Puisi yang disampaikan ketika semuanya terlambat, saat waktu tak mungkin diulang kembali, hanya menyisakan penyesalan di hati orang yang ditinggalkan. Aihhh, menyedihkan sekali… *cari-lap-air-mata



Saya tak ingin menjadi seperti Soe, atau Ira, atau siapapun orang yang tak berani mengungkapkan cinta lalu menyesal di kemudian hari. Saya ingin mengatakan apa yang saya rasakan, ketika perasaan itu bergema di dada. Ya, alih-alih mengirimkan puisi indah, saya ingin menyampaikan secara langsung dan jujur saja apa kata hati saya. Meskipun tak indah, meskipun norak, meskipun lebay, lebih baik malu sekarang daripada menyesal nanti-nanti.

Dan mengutip kata-kata yang tak sempat Soe ucapkan secara langsung kepada Ira, saya ingin memeluk kekasih saya erat, berbisik langsung di telinganya, “Aku ingin mati di sisimu, sayangku…  Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya, tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.

(Aihhhh, norak sekali. Mungkin setelah saya mengucapkan kata-kata itu, saya akan tutup muka. Saking malunya, haha…)

No comments:

Post a Comment