Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku…
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku…
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini sayangku,
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati
padaku,
Tegaklah ke langit luas, atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita tak akan pernah kehilangan apa-apa.
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa 11 November 1969)
Baru sembilan hari lalu saya menonton film Gie. Iya, film
Soe Hok Gie yang itu. Iya, yang dibuatnya tahun 2005. Dan iya juga, saya telat
sekali karena baru menontonnya sekarang.
Gie, merupakan film biografi singkat yang menceritakan masa
remaja hingga Soe (panggilan akrab Soe Hok Gie) menjadi dewasa. Idealisme Soe
yang terbentuk sejak kecil, dan keberaniannya menghadapi sang tanda tanya. Bagaimana
Soe tak pernah takut berdiri di sisi kebenaran, meskipun itu berarti dia harus
berdiri sendiri. Tokoh yang tajam, membuat orang ingin memuja dan tidak
menyukainya di saat bersamaan. Hahaha, ambigu sekali kata-kata saya. But actually, that’s exactly what I feel. :p
Satu hal yang saya kurang suka dari Soe di film ini adalah
justru sikapnya saat menghadapi cinta (terlepas dari kisah cinta di film ini
murni fiksi atau benar-benar terjadi). Hahaha, khas wanita sekali bukan? :p
Ya, kenapa Soe yang benar-benar straight saat berhubungan dengan hal-hal politik, tak bisa
melakukan hal yang sama saat berhubungan dengan masalah hati? Kenapa Soe yang
tak gentar menuliskan isi pikirannya di harian Kompas, mengambil resiko tidak
disukai oleh banyak orang, dan menjadi salah satu incaran penguasa saat itu;
malah cemen saat harus memperjuangkan
cinta? Arrghhh, saya benci cerita dengan ending
seperti ini. Bukan karena terlalu real,
tapi saya tak suka saja jika seseorang kehilangan cinta yang sebenarnya bisa ia
miliki karena kebodohannya sendiri. Rasanya ingin membentur-benturkan kepala Soe
ke dinding (*mulai sadis) saat Soe lebih memilih pacaran dengan Sinta padahal
jelas-jelas dia tau dia suka dengan Ira, dan Ira mempunyai perasaan yang sama
kepadanya. Ihhh, tak habis pikir sama sekali!
Puisi di awal postingan ini adalah puisi yang menjadi epilog
pada film tersebut. Puisi yang disampaikan Soe untuk Ira, melalui seorang
teman, yang baru dibaca oleh Ira setelah mendengar berita kematian Soe. Puisi
yang disampaikan ketika semuanya terlambat, saat waktu tak mungkin diulang
kembali, hanya menyisakan penyesalan di hati orang yang ditinggalkan. Aihhh,
menyedihkan sekali… *cari-lap-air-mata
Saya tak ingin menjadi seperti Soe, atau Ira, atau siapapun
orang yang tak berani mengungkapkan cinta lalu menyesal di kemudian hari. Saya
ingin mengatakan apa yang saya rasakan, ketika perasaan itu bergema di dada.
Ya, alih-alih mengirimkan puisi indah, saya ingin menyampaikan secara langsung
dan jujur saja apa kata hati saya. Meskipun tak indah, meskipun norak, meskipun
lebay, lebih baik malu sekarang daripada
menyesal nanti-nanti.
Dan mengutip kata-kata yang tak sempat Soe ucapkan secara
langsung kepada Ira, saya ingin memeluk kekasih saya erat, berbisik langsung di
telinganya, “Aku ingin mati di sisimu, sayangku… Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.”
(Aihhhh, norak sekali. Mungkin setelah saya mengucapkan
kata-kata itu, saya akan tutup muka. Saking malunya, haha…)