Saya ingat sekali waktu itu saya suntuk berat. Banyak
masalah di kantor. Dan jika sudah mengalami gejala-gejala seperti ini, tidak ada obat
yang bisa diberikan selain satu. Ke laut. Inilah syndrome sakau laut versi saya… :-p
“Because there is
nothing more beautiful than the way ocean refuses to stop kissing the
shoreline, no matter how many it’s sent away”
Apakah kalian pernah dengar quotes di atas? Itulah yang benar-benar saya rasakan. Definisi
sakau laut adalah saya butuh duduk-duduk melihat laut, mendengar deburan ombak
yang memecah, dan merasakan butir-butir pasir dan basahnya air laut membasahi
jari-jari kaki saya. Saya butuh matahari yang teriknya tak terasa karena
tersamarkan oleh sepoinya angin, bau angin laut yang bahkan asinnya terasa
sampai ke kulit dan indera-indera saya. Hahaha, sebut saja saya lebay, tapi
itulah yang benar-benar saya rasakan. For
me, beach and ocean is my sacred place. It’s my sanctuary… :)
Back to the topic! Yup,
karena sakau yang udah mencapai titik maksimal, maka saya menghubungi salah
satu teman perjalanan saya yang paling solid. Hahaha, dialah teman yang oke
banget saya ajak ke tempat-tempat mblusuk,
tidak banyak omong, dan paling mengerti tentang pentingnya privacy. Call him… O’Nenk. Tolong jangan jealous ya kalo kalian
menyadari teman saya (lagi-lagi) cowok. Sudah kodrat alam hidup saya
dikelilingi cowok-cowok baik… :-p
Singkat cerita, kami memutuskan untuk pergi berdua ke Pantai
di Malang Selatan. Naik apa lagi kalo bukan motor kesayangannya O’Nenk, si Blinkie.
Untuk destination kami sengaja
memilih pantai yang tidak populer. Kami butuh menyepi, melepaskan kepenatan,
jadi pantai-pantai komersil seperti Balekambang langsung kami coret dari
daftar. Saya mengusulkan Pantai Sipelot, dan langsung disetujui oleh O’Nenk.
Dan karena keterbatasan waktu, kami langsung tolak alias tidak menginap.
Hahaha, demi laut…go…go…gooooooo!!!
Before the journey began... |
Sipelot dari atas bukit. Really captivating, isn't it? |
Menginjak Sipelot, ternyata pantai ini benar-benar sepi, tak ada satu wisatawan pun yang nampak.
Dan tentu saja saya langsung kalap. Saya minta ijin kepada salah seorang penduduk
setempat untuk meminjam ruangan. Tujuannya apalagi kalo bukan untuk ganti
celana pendek. Tidak afdol rasanya harus mengejar ombak dengan bercelana
panjang. Kurang total, haha… Ruangan yang dipinjamkan adalah gudang, di sebelah
kandang. Jadilah saya ganti pakaian dengan mendengar suara sapi. Mooooowwwww….
(*meringis). Tak apalah demi merasakan laut. Saya ingin main air, yeeeeyyy!!!
*girang, lonjak-lonjak :-$
Mengintip sapi-sapi yang asyik merumput, hmmm... really enjoy that moment... |
Rumah si bapak yang baik hati :) |
Saking kalapnya saya langsung nyemplung ke danau kecil yang berwarna hijau yang sumber aliran
airnya entah dari mana dan mengarah ke laut. Tiba-tiba terdengar suara O’Nenk
mengingatkan saya, “Err, itu air muara loo. Yang kotor-kotor ngumpul semua di
situ sebelum dibuang ke laut…” Whaaaaattttttt???
Yaikssss, saya langsung jijik dan angkat kaki. Untungnya baru sebetis yang
merasakan air sejuta umat tersebut. Langsung saja saya cuci kaki bersih-bersih
di laut. Hehehe… :D
Cuci kaki! |
Membuktikan ilmu "Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah" |
Saya dan si Kuning |
Sipelot indah. Sepi. Jauh dari keramaian. Dengan garis
pantai yang panjang, dan berbentuk melingkar seperti danau. Meskipun termasuk
Pantai Selatan, ombaknya tergolong tenang. Mungkin disebabkan oleh adanya cerukan
daratan yang menaungi di kanan-kiri pantai ini. *mulai sotoy :-p
:D |
Perjalanan kali itu benar-benar privacy sekali untuk saya dan O’Nenk. Kami langsung autis dengan
dunia kami masing-masing. Hanya berbicara jika dibutuhkan saja. Pembicaraan
kami yang sebenarnya adalah dengan Tuhan, matahari, dan laut. Really, what a beautiful day… ;)
Beautiful sky |
Bapak nelayan dan para bodyguard-nya :D |
Setelah puas menghirup angin laut banyak-banyak, kami pun
memutuskan pulang. Nah tiba-tiba di tengah perjalanan ini kami mendapatkan
“pencerahan” untuk mengunjungi pantai yang lain. Jeng…jeng…jadilah kami mampir ke Pantai Lenggoksono.
Pantai Lenggoksono |
Saya kesampingkan batu-batu yang menggantikan pasir di garis
Pantai Lenggoksono, serta sampah-sampah yang dari mana datangnya memenuhi
pantai yang sebenarnya indah ini, menurut saya overall Lenggoksono indah. Deburan ombaknya membuat saya jatuh
hati. Ombak-ombaknya seakan berkejar-kejaran tanpa kenal henti dan lelah.
Ombaknya dewa banget... |
Digambarkan sebagai cowok (lagi-lagi), Lenggoksono mirip
seperti remaja desa yang menjadi kawan
bermain saya ketika berkunjung ke rumah bibi di desa pada waktu kecil. Meskipun
jelek dan tak terawat, tapi energinya melimpah ruah. Menawarkan tawa, mengajak
saya berlarian kesana kemari. Membuat saya jatuh hati dalam caranya yang
sederhana. Aihhh, bahasa saya mulai sangat-sangat lebay ini… :-p
Take the last picture before sayin' goodbye... |
Worthed or not?
Nahhh, itu saya juga bingung bagaimana harus menjawab. Jika dilihat dari
kondisi saya waktu itu, saya jawab worthed.
Tapi jika kalian tidak sedemikian sakau laut seperti saya, maka dengan berat
hati saya jawab tidak. Kecuali kalian menggunakan mobil sehingga perjalanan
menjadi lebih nyaman. Jika tidak, kalian terpaksa bernasib sama seperti saya.
Tidur tengkurap pasca perjalanan, karena tulang ekor (maaf!) berunjuk rasa
dan mencuat sedemikian rupa akibat 12 jam pulang-pergi di atas motor. Haha… :D