Thursday, November 29, 2012

Pantai Sipelot ~ Lenggoksono : Memukau dalam kesederhanaan


Saya ingat sekali waktu itu saya suntuk berat. Banyak masalah di kantor. Dan jika sudah mengalami gejala-gejala  seperti ini, tidak ada obat yang bisa diberikan selain satu. Ke laut. Inilah syndrome sakau laut versi saya… :-p

Because there is nothing more beautiful than the way ocean refuses to stop kissing the shoreline, no matter how many it’s sent away”

Apakah kalian pernah dengar quotes di atas? Itulah yang benar-benar saya rasakan. Definisi sakau laut adalah saya butuh duduk-duduk melihat laut, mendengar deburan ombak yang memecah, dan merasakan butir-butir pasir dan basahnya air laut membasahi jari-jari kaki saya. Saya butuh matahari yang teriknya tak terasa karena tersamarkan oleh sepoinya angin, bau angin laut yang bahkan asinnya terasa sampai ke kulit dan indera-indera saya. Hahaha, sebut saja saya lebay, tapi itulah yang benar-benar saya rasakan. For me, beach and ocean is my sacred place. It’s my sanctuary:)

Back to the topic! Yup, karena sakau yang udah mencapai titik maksimal, maka saya menghubungi salah satu teman perjalanan saya yang paling solid. Hahaha, dialah teman yang oke banget saya ajak ke tempat-tempat mblusuk, tidak banyak omong, dan paling mengerti tentang pentingnya privacy. Call him… O’Nenk. Tolong jangan jealous ya kalo kalian menyadari teman saya (lagi-lagi) cowok. Sudah kodrat alam hidup saya dikelilingi cowok-cowok baik… :-p

Singkat cerita, kami memutuskan untuk pergi berdua ke Pantai di Malang Selatan. Naik apa lagi kalo bukan motor kesayangannya O’Nenk, si Blinkie. Untuk destination kami sengaja memilih pantai yang tidak populer. Kami butuh menyepi, melepaskan kepenatan, jadi pantai-pantai komersil seperti Balekambang langsung kami coret dari daftar. Saya mengusulkan Pantai Sipelot, dan langsung disetujui oleh O’Nenk. Dan karena keterbatasan waktu, kami langsung tolak alias tidak menginap. Hahaha, demi laut…go…go…gooooooo!!!


Before the journey began...

Sipelot dari atas bukit. Really captivating, isn't it?

Menginjak Sipelot, ternyata pantai ini benar-benar sepi, tak ada satu wisatawan pun yang nampak. Dan tentu saja saya langsung kalap. Saya minta ijin kepada salah seorang penduduk setempat untuk meminjam ruangan. Tujuannya apalagi kalo bukan untuk ganti celana pendek. Tidak afdol rasanya harus mengejar ombak dengan bercelana panjang. Kurang total, haha… Ruangan yang dipinjamkan adalah gudang, di sebelah kandang. Jadilah saya ganti pakaian dengan mendengar suara sapi. Mooooowwwww…. (*meringis). Tak apalah demi merasakan laut. Saya ingin main air, yeeeeyyy!!! *girang, lonjak-lonjak :-$


Mengintip sapi-sapi yang asyik merumput, hmmm... really enjoy that moment...

Rumah si bapak yang baik hati :)

Saking kalapnya saya langsung nyemplung ke danau kecil yang berwarna hijau yang sumber aliran airnya entah dari mana dan mengarah ke laut. Tiba-tiba terdengar suara O’Nenk mengingatkan saya, “Err, itu air muara loo. Yang kotor-kotor ngumpul semua di situ sebelum dibuang ke laut…” Whaaaaattttttt??? Yaikssss, saya langsung jijik dan angkat kaki. Untungnya baru sebetis yang merasakan air sejuta umat tersebut. Langsung saja saya cuci kaki bersih-bersih di laut. Hehehe… :D


Cuci kaki!

Membuktikan ilmu "Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah"

Saya dan si Kuning

Sipelot indah. Sepi. Jauh dari keramaian. Dengan garis pantai yang panjang, dan berbentuk melingkar seperti danau. Meskipun termasuk Pantai Selatan, ombaknya tergolong tenang. Mungkin disebabkan oleh adanya cerukan daratan yang menaungi di kanan-kiri pantai ini. *mulai sotoy :-p


:D

Perjalanan kali itu benar-benar privacy sekali untuk saya dan O’Nenk. Kami langsung autis dengan dunia kami masing-masing. Hanya berbicara jika dibutuhkan saja. Pembicaraan kami yang sebenarnya adalah dengan Tuhan, matahari, dan laut. Really, what a beautiful day… ;)

Beautiful sky

Bapak nelayan dan para bodyguard-nya :D

Setelah puas menghirup angin laut banyak-banyak, kami pun memutuskan pulang. Nah tiba-tiba di tengah perjalanan ini kami mendapatkan “pencerahan” untuk mengunjungi pantai yang lain. Jeng…jeng…jadilah kami mampir ke Pantai Lenggoksono.


Pantai Lenggoksono
 
Saya kesampingkan batu-batu yang menggantikan pasir di garis Pantai Lenggoksono, serta sampah-sampah yang dari mana datangnya memenuhi pantai yang sebenarnya indah ini, menurut saya overall Lenggoksono indah. Deburan ombaknya membuat saya jatuh hati. Ombak-ombaknya seakan berkejar-kejaran tanpa kenal henti dan lelah.

Ombaknya dewa banget...

Digambarkan sebagai cowok (lagi-lagi), Lenggoksono mirip seperti remaja desa yang menjadi  kawan bermain saya ketika berkunjung ke rumah bibi di desa pada waktu kecil. Meskipun jelek dan tak terawat, tapi energinya melimpah ruah. Menawarkan tawa, mengajak saya berlarian kesana kemari. Membuat saya jatuh hati dalam caranya yang sederhana. Aihhh, bahasa saya mulai sangat-sangat lebay ini… :-p


Take the last picture before sayin' goodbye...

Worthed or not? Nahhh, itu saya juga bingung bagaimana harus menjawab. Jika dilihat dari kondisi saya waktu itu, saya jawab worthed. Tapi jika kalian tidak sedemikian sakau laut seperti saya, maka dengan berat hati saya jawab tidak. Kecuali kalian menggunakan mobil sehingga perjalanan menjadi lebih nyaman. Jika tidak, kalian terpaksa bernasib sama seperti saya. Tidur tengkurap pasca perjalanan, karena tulang ekor (maaf!) berunjuk rasa dan mencuat sedemikian rupa akibat 12 jam pulang-pergi di atas motor. Haha… :D

Wednesday, November 28, 2012

Pantai Gua Cina dan Pantai Bajul Mati: Satu Suro Mengunjungi Nyi Roro kidul


Yeah, sudah dua minggu lewat sejak saya menulis blog nyampah yang bahkan tidak jelas apa topiknya itu, dan sudah sebulan lebih sejak postingan terakhir tentang “petualangan” pertama saya. Nah, kali ini saya mau mengucapkan pengakuan dosa karena sebenarnya seminggu lalu saya ber”petualang” ke salah dua pantai-pantai cantik di Malang Selatan dan sampai detik ini belum melaporkan apa-apa di blog  ini. Hohoho…maafkan ketidak-eksisan saya ya, guys… :-p

Awal mula rencana perjalanan di bulan November adalah penanjakan ke gunung Semeru. Preparation yang dilakukan sudah tidak tanggung-tanggung. Perlengkapan-perlengkapan pun sudah complete, hasil pinjaman (baca: jarahan) kanan-kiri. Briefing, persiapan surat keterangan sehat, fotocopy KTP, semua sudah dilakukan. Bahkan saya sudah memasang telinga lebar-lebar mendengar wejangan-wejangan dari kakak seperguruan dan tetua pendaki yang kerjaannya naik turun gunung (“Ko Budz, emang elu udah tua lo yaaa…. :-p “). Tapi lagi-lagi…rencana tinggal rencana. Ijin keberangkatan saya tidak mendapatkan “stempel” dari Mama tercinta.

And the reason behind is…gara-gara diberitakannya dengan santer di salah satu surat kabar lokal tentang seorang anak muda yang hilang selama dua hari di Semeru. Dan parahnya lagi, Mama saya adalah pembaca setia surat kabar tersebut. Bikin Mama paranoid? Jelassss… Sorenya setelah berita dimuat, anak tersebut ditemukan dalam keadaan sehat. Alhamdulillah buat anak itu, totally craaapppp for me. Bagaimana tidak lha wong ijin sudah ditolak mentah-mentah dan sama sekali tidak diperhitungkan untuk pertimbangan ulang. Daaaamnnnnn!!!! Rasanya pada saat itu saya ingin memutilasi penulis lebay surat kabar lokal tersebut dan memberikan potongan-potongan dagingnya pada hyena-hyena Taman Safari. (Maafkan jika bahasa saya mengerikan, mulai kumat psycho-nya, haha… :-p )

Yeah, kecewa sangat rasanya. Belum lagi merasa bersalah pada Ko Win dan DK. Sudah berjanji mendaki puncak bersama, tapi janji itu tidak bisa saya tepati. Seperti menjilat ludah sendiri. Hiks, sedih sekali plus marah pada diri sendiri rasanya… :’(

Kemudian datanglah penyelamat saya…jeng..jeng…Ko Bon-Bon namanya. Penggemar travelling, doyan photography, kocak, mirip Ikan Dugong (Ups…), and nice. He’s single too, so…buat yang mau daftar, bisa langsung ambil formulir pendaftaran di saya. Yuuukkk, mariiii… (*nyengir gede :D )

Ko Bon-Bon berencana “menculik” saya ikut dalam tripnya bersama beberapa orang teman. Meskipun dibilang menculik sebenarnya sih jauh dari arti kata sebenarnya, karena ini yang diculik malah jejingkrakan girang. Yeyyyy, pantaiiiiiii!!!!

Dan pergilah saya, di tanggal Satu Suro, mengunjungi pantai-pantai Selatan yang konon merupakan daerah kekuasaan Nyi Roro Kidul. :-p
Berangkat  jam lima pagi hari dari Surabaya, menempuh lima jam perjalanan dari Surabaya menuju Malang Selatan. Dan seperti biasa penunjuk jalan adalah GPS. Tanyakan Peta, Katakan Peta! (Dora the Explorer banget… :-p )

Setelah melewati jalan makadam1 yang membuat semobil bergoyang dangdut, sampailah saya di pantai pertama. Gua Cina! Eitsss, bukan berarti saya mendeklarasikan etnis saya, tapi ini karena memang namanya demikian. Pantai Gua Cina, namanya…


Nampang di depan papan penunjuk. :-p

 Kenapa disebut Gua Cina? Usut punya usut sih karena dulu ada seorang biksu yang bertapa di gua yang terletak di pantai ini, tetapi  beberapa saat ketika warga datang melihat keadaan biksu tersebut, warga hanya menemukan tulang belulang saja (Jadi agak horror nih ceritanya :# ). Di gua tersebut, juga ditemukan huruf Mandarin  yang ditulis (atau dipahat, entahlah…) di langit-langit gua. Saya sendiri entah kenapa sedikit kurang nyaman ketika berada di dalam gua ini. Bukan karena apa-apa, tetapi karena sirkulasi udara hanya dari mulut gua saja, sehingga berada sebentar di dalam gua sudah mandi keringat. Apalagi banyaknya pengunjung yang antre mau masuk ke dalam gua ini. Fiuhh, jangankan mau mendelik untuk melihat huruf-huruf Mandarin, bisa keluar tanpa berdesak-desakan saja sudah syukur sekali rasanya. 


Penampakan dalam Gua Cina, banyak torehan yang jelas-jelas bukan huruf Cina.

Bukan hanya nama saja yang ada embel-embel Cina-nya, di pantai ini saya juga bertemu dengan banyak rombongan orang Cina, baik yang keturunan etnis Tionghoa, atau memang benar-benar native. Dan jangan bilang pantai ini tidak komersil karena pada saat saya datang, pantai ini ramaiiiiiiiii sekaliiiiiiii (I-nya sengaja saya beri banyak, untuk penegasan. :-p ). Dan di pantai ini juga, keotentikan saya diragukan. Hahaha… :-p

Ceritanya saat saya sedang makan bakso, datang dua orang Chinese native membeli bakso. Mereka kesusahan sekali menjelaskan apa maksud mereka ke bapak penjual bakso. Dan kebetulan saya mendengarkan, mengerti maksud mereka, mengerti juga apa maksud bapak penjual bakso, dan tidak tega melihat ke-missunderstanding-an yang muncul. Akhirnya saya menjadi translator mendadak di antara kedua belah pihak. In the end, bule Cina itu melihat saya, dan ragu-ragu sangat dia menanyakan, “Ni shi Hua ren ma?  (Apakah kamu orang Tionghoa?)”. Saya jawab, “Shi a… (Benar…)”. Dan mukanya benar-benar tidak yakin mendengar jawaban saya. Dia berkata lagi, “Xie xie. (Terima kasih.)”. “Bu yong xie (Tidak apa-apa.)”, jawab saya. Craaaapppp, mungkin gara-gara kulit gosong eksotik, saya disangka orang Jawa. Dan baru beberapa menit kemudian saya tersadar pantas saja bule Cina tersebut tidak yakin, lha wong mata sipit saya (bukti otentik satu-satunya) tertutup kacamata hitam. Haha… :-p


Pantai Gua Cina dengan ombak khas Selatan

With Ko Bon-Bon


Overall, saya suka sekali dengan pantai ini. Wajahnya bermacam-macam, dan jika diibaratkan dengan cowok, he’s unpredictable.  Ada sisinya yang cadas, berbatu-batu, khas ombak pantai Selatan yang “meluap-luap”. Sisi yang lain berpasir halus, lembut, tapi kadang masih menggoda dengan ombak-ombak tak terduganya. And the others, penuh dengan batu berlumut hingga warnanya hampir hijau menimbulkan gradasi laut yang ih…waow… banget. :D

Mulai surut, bisa jalan ke pulau kecil di tengah laut.

Matahari sudah tak lagi berada tepat di atas kami, ketika kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bajul Mati. Kira-kira 3km jauhnya dari Pantai Gua Cina. Pantai Bajul Mati sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:  Pantai Ungapan Bajul Mati (dekat dengan Jembatan) dan Pantai Bajul Mati sendiri. Kenapa disebut Pantai Bajul Mati? Simple saja, karena pulau-pulau karang kecil yang terletak di dekat pantai menyerupai bentuk buaya , yang dalam bahasa Jawa disebut bajul. Nah jika kalian bertanya pada saya apakah benar-benar menyerupai buaya, saya hanya bisa menjawab, “Dilihat dari mananya? :-p “


Kira-kira mirip buaya tidak?

Pantai ini jauh lebih sepi daripada Pantai Gua Cina, dan lagi-lagi saya juga suka. Hahaha, saya akui saya memang “murahan” jika berurusan sama pantai. Mudah jatuh cinta lah intinya (Eits, tapi cuman sama pantai saja looo…). :-p

Makes me 'in love '

Hanya berdiri di pinggir pantai sambil makan ice cream, berteriak keras-keras (dimanfaatkan karena sepi), berkejar-kejaran dengan ombak dan menghirup-hembus udara laut saja membuat deadline-deadline kantor lenyap entah kemana. All the stress gone!

Masa kecil bahagia sekali :D

Dan ketika matahari mengucapkan selamat tinggal dengan indahnya pada dunia, saat itulah kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Goodbye, Croc, can’t wait to see you in another times… :D

Special thanks to Ko Bon-Bon, can't wait to go another trip with u!

Notes:
1 Arti jalan makadam adalah jalan dari batu pecah yang diatur padat lalu ditimbuni kerikil, hingga permukaannya keras. Jalan ini terlahir karena didasari keinginan untuk membangun banyak jalan dengan cara cepat dan biaya yang tidak terlalu tinggi. Makanya di banyak tempat yang konstruksi jalannya belum terlalu maju, ya seringnya kita menemui kontur jalan seperti ini. Nama makadam sendiri diambil dari nama penggagas ide munculnya jalan ini, yaitu John Loudon McAdam (1756 - 1836). Orang Indonesia banget sih yang simplicity penyebutan dari McAdam (baca: mek-edem) menjadi makadam (baca: ma-ka-dam). Haha…  :D

Sunday, November 11, 2012

Distance? Really hate that...

"And I will make sure to keep my distance. Say I love you when you're not listening. And how long can we keep this up?"




Jika ada yang bertanya pada saya bagaimana dengan probabilitas menjalani hubungan dengan seseorang yang jauh (beda kota, beda pulau, beda negara), saya akan dengan langsung menjawab tidak.

Saya benci harus harap-harap cemas tiap menunggu telepon malam hari. Menunggu-nunggu kemungkinan kapan bisa bertemu, dan ketika pertemuan terjadi hanya berlangsung singkat dan langka. Saya benci tiap kali saya ada masalah dan membutuhkan seseorang itu ada (secara fisik benar-benar ada), saya hanya bisa menggigit jari karena memang dia tak bisa ada. Saya benci tiap kali lost contact dan membuat saya bertanya-tanya sedang apa dan dimana dia sekarang (Sammy Simorangkir banget... :-p ). Intinya saya adalah tipe wanita yang tidak tahan dengan penantian dan ketidak-pastian. Haha...

So, di sinilah saya berakhir pada minggu pagi menjelang siang ini. Di depan laptop, mengetik blog yang lagi-lagi isinya curhatan nyampah, and I would like to say enough. For you, for the relationship, for everything...

Thursday, November 8, 2012

Inginkan?

Kadang tak semua hal yang kita inginkan, kita dapatkan.
Juga tak semua yang kita dapatkan, kita inginkan.

Kadang meskipun pahit yang kita dapat,
kita masih harus tersenyum manis saat menerimanya.
Itulah yang disebut menjadi dewasa (katanya).
Itulah sebabnya saya benci beranjak dewasa.


*sigh... "Nyampah" malam hari akibat gagal ke Semeru (lagi)... :-p